Senin, 30 Maret 2009

"Cahaya"

Cahaya berdiri mematung di beranda atas, memandang jauh. Tiba-tiba disadarinya secercah cahaya menerobos dari pintu kamar Putra. Mungkin dia belum tidur. Air mata kembali membasahi pipi Cahaya. Cepat ia menarik tissue dari kantong celananya dan menyeka hidung dan matanya.

“Cahaya?”

Cahaya terkejut. Putra muncul dengan mata sedikit agak merah.

“Apa?” suara Cahaya terdengar serak.

“Ada apa malam-malam begini menangis?”

Cahaya terperangah. “Aku tidak menangis. Hanya sedikit pilek.”

“Kau kira aku tuli. Ayolah…katakan ada apa? Suara Putra terdengar lelah dan tidak sabar.

“Capek. Aku mau tidur.”

“Kau tidak akan bisa tidur. Ceritakan dulu supaya lega. Ayolah…aku tidak akan mentertawakan kau!”

Ada sesuatu dalam suara Putra yang membuat Cahaya lemah dan ingin mencurahkan segalanya keluar, seperti kalau ia menceritakan sesuatu pada sahabatnya Dewi. Tapi Cahaya tidak ingin menangis di depan Putra. Dalam pelukannya sekalipun. Pria itu menganggapnya tak lebih dari makhluk perempuan kecil yang tidak menarik dan kekanak-kanakan. Itu sama sekali tidak boleh terjadi.

“Tidak usahlah.” Jawab Cahaya, kemudian menambahkan dengan suara gemetar, “terima kasih.”

“Kalau begitu jangan cengeng lagi,” sentak Putra. “Aku tidak ingin tidurku terganggu oleh suara tangis perempuan sepanjang malam.”

Cahaya tidak menjawab. Ia masuk ke dalam kamar dan membanting pintu di depan hidung Putra.

*

Pagi itu Cahaya bangun lebih pagi dari Putra dan mulai dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi.

Di meja makan Putra tampak rapih dan wangi sesudah mandi.

“Bagaimana perasaanmu hari ini?” Tanya Putra. “Masih berminat ke mata air?”

“Ya,” jawab Cahaya singkat. “Tapi kalau kau tak enak badan, aku sendiri bisa mencari jalan kesana. Aku masih ingat jalan kesana.”

“Kenapa tidak?” Putra tampak gusar. “Apa yang akan kau lakukan disana nanti?”

“Aku mau berenang. Tapi sebaiknya kita berangkat setelah Novi datang. Mungkin sebentar lagi dia datang.”

Alis Putra terangkat.

“Kita toh tak mungkin menunggu Novi sepanjang hari. Ada apa sih? Apakah kau ngeri pergi berduaan denganku?”

Cahaya menatap Putra. Pandangan Putra dingin. Cahaya tidak heran Putra pasti tersinggung dengan perkataanya.

Cahaya telah selesai mencuci piring-piring kotor dan membereskan semuanya yang Nampak masih berantakan. Novi belum juga datang. Cahaya tidak melihat Putra, mungkin dia berada di teras depan, membaca novel-novel kesayangannya.

Waktu sarapan tadi, Putra menanyakan berapa lama Cahaya akan berlibur disini.

“Mungkin sebulan penuh….,” jawabnya sembarangan “Kenapa? Kau tak suka?”

“Siapa bilang? Aku toh tak mengatakan begitu. Hanya mungkin kau kecewa karena mama dan Riri pergi liburan ke Jambi. Dan itu semua salahmu sendiri, kenapa datang tak memberi kabar terlebih dahulu…!”

Cahaya mengangguk.

“Ya itu salahku. Tadinya aku mau bikin kejutan. Tak taunya aku sendiri yang terkejut. Tapi biarlah, semuanya sudah terlanjur.”

Cahaya memang tak bisa menolak kenyataan ini. Ketika ia baru sampai dirumah ini dengan maksud liburan, Namborunya dan Riri telah berangkat dua hari sebelumnya ke Jambi. Riri adalah adik Putra satu-satunya, sedangkan amangborunya, ayah Putra dan Riri ada di Australia, sedang belajar disana. Amangborunya ditugaskan untuk sekolah disana oleh kantornya.

Untuk pulang kembali ke Yogyakarta tak mungkin lagi, sebab tak ada yang harus dikerjakan disana. Sedangkan teman-teman kuliahnya sudah pulang ke daerahnya masing-masing mengisi libur yang panjang ini. Bukankah sudah dari jauh hari ia merencanakan akan liburan di Medan dan papanya setuju sekali. Sebab papanya ingin agar Cahaya menenangkan hatinya.

Papa Cahaya kasihan melihat putri satu-satunya yang semakin kurus dan hanya terkubur dalam tangis dan kepedihan yang panjang, karena kematian Awan kekasihnya. Untunglah papanya sering menghiburnya dan mau mengerti perasaan anak satu-satunya itu.” Kalau papa tabah ditinggal mama selama-lamanya kenapa aku tidak?’ batinnya dalam hati. “Aku juga harus sekuat papa. Sayang aku tak sempat merasakan kasih saying mama. Karena mama meninggal ketika aku berumur satu minggu. Dan kini aku harus kehilangan Awan pula. Memang pahit kenyataan ini.”

Cahaya mengambil baju renangnya dan handuk, kemudian memakai kemeja hitamnya dan jeans, menutupi baju renangnya. Tidak lama kemudian mereka sudah dalam perjalanan menutu mata air.

Udara panas dan lembab. Cahaya duduk termangu tertiup angin dari jendela mobil yang terbuka penuh. Matanya menyipit melawan sinar matahari. Pemandangan begitu indah, merah tanah, bayangan pohon-pohon pinus di sekitarnya dan kicauan burung-burung yang terbang di atas ranting-ranting pohon, memberi kesegaran baru di hati Cahaya.

Mereka mengambil jalan lurus, memotong di antara rumput-rumput jarum yang mengering. Jalan itu nampaknya tidak sering lagi dipakai. Sungai itu tampak melengkung.

“Kau juga mau berenang?” tanyanya pada Putra.

“Tidak. Kau boleh berenang sendiri. Aku ingin relax.”

Mata air itu masih seperti dulu. Cahaya lupa akan Putra. Dilucutinya jeans dan kemejanya, kemudian ia lari ke tepi mata air untuk mengintip ke dalam airnya yang jernih, mencari rumput air seperti yang sering dilakukannya bersama Riri ketika masih kecil dulu, waktu ia dan papanya berlibur kemari.

Bebatuan didasarnya mengkilap dan licin, terpantul oleh cahaya matahari. Perlahan Cahaya meluncur dalam air, mencoba untuk tidak mengganggu keindahannya dan mengambang terlentang. Air itu sejuk lembut. Membawa kenangan lama dan nostalgia yang kadang-kadang terasa pedih. Kelembutan dan kesabaran Awan begitu mendalam di hati Cahaya, hingga ia teramat pedih ketika Awan pergi untuk Selama-lamanya, karena suatu kecelakaan lalu lintas, beberapa bulan yang lalu.

Cahaya asyik berenang dan berkhayal, sementara mentari makin tinggi dan membakar kulitnya yang kuning langsat.

Putra lelah berjalan-jalan di tepian sungai, duduk diatas sebuah batu besar berpermukaan datar. Menatap tajam kea rah Cahaya yang mengambang terlentang dan tenang beberapa meter di hadapannya.

Tiba-tiba Cahaya tersentak. Hanya sebagian kecil tubuhnya yang tertutup oleh pakaian renang itu. Ini bukan dunia kanak-kanak lagi. Dan Putra memandangnya seperti itu. Memang Cahaya agak kurus sejak ditinggal Awan. Dadanya berdegup kencang.

Ia berdiri kaku ketika Putra berkata, “Dalam pakaian seperti itu Cahaya, kau bukan kanak-kanak lagi.”

Gelombang hangat memerahi wajah Cahaya. Lalu Putra menambahkan lagi, “Tampaknya kau melamunkan sesuatu, begitu asyik.”

“Ah…hanya mengenang waktu aku disini dulu,” jawab Cahaya agak gugup.

“Oya…? Cuma itu? Atau.. ada yang lain lagi yang kau pikirkan?” Tanya Putra datar.

“Tidak..tidak ada lagi yang lain..”potongnya buru-buru.

“Bohong! Aku tak percaya dengan semua yang kau katakan itu. Pasti masalahnya menyangkut seorang pria, hingga kau tak mau membicarakannya denganku. Ayolah ceritkan semuanya padaku. Jangan sampai aku memaksamu. Dan aku tahu apa yang kau tangiskan malam itu.

“Aku…aku tidak bisa,” Cahaya menjawab lemah tak berdaya.

“Cengeng! Begitu parahkah sampai kau tak mau membicarakannya?” Putra mulai kasar.

Cahaya tidak ingin menceritakan kisah cintanya dengan Awan pada Putra. Tetapi tampaknya Putra ingin tahu sekali. Padahal Cahaya baru saja ingin melupakan kisah cintanya yang teramat sedih. Ia ingin mengubur semua kenangan lama yang pernah dialaminya bersama Awan. Biarlah mimpi-mimpi dan harapan yang dulu ikut terkubur bersama dengan kepergian Awan. Mengapa sekarang harus diungkit-ungkit lagi?

“Baiklah kalau kau memaksaku…,” kata Cahaya pelan dan kepala tertunduk. “ Kekasihku meninggalkanku untuk selamanya…”

“Kenapa?? Apakah dia bermain dengan perempuan lain?!”

“Tidak. Sama sekali tidak.” Cahaya tersinggung dengan perkataan Putra.

“Lantas kenapa?” Tanya Putra setengah mencemooh.

Cahaya menoleh dan marah. “Kau…kau sombong. Kasar. Tidak berperasaan sama sekali!!” Cahaya mulai menangis. “Dengar baik-baik. Dia meninggalkan aku karena kematiannya dua bulan la. Suatu kecelakaan merenggut nyawanya untuk selamanya. Dan itu bukan seperti yang kau tuduhkan tiu!”

Putra tampaknya menyesal dengan kata-katanya yang kasar itu, ketika dilihatnya cahaya mulai menangis.

“Kenapa tidak kau katakan sejak hari-hari yang lalu?”

“Untuk apa? Supaya aku dikasihani? Begitu? Maaf aku tak butuh belas kasihanmu itu…” isak Cahaya di sela tangisnya.

“Ah …sudahlah. Bukan maksudku membuat kau tambah bersedih. Ayolah duduk sini…” Putra bisa juga berkata lembut.

Cahaya tiba-tiba merasa lelah. Mungkin karena luapan emosi, udara panas dan waktu yang dihabiskannya di air.

Cahaya berlari mengambil tumpukan bajunya. Pakaian renangnya telah kering ditubuhnya. Cepat ia mengenakan jeans dan kemeja hitamnya. Ia berpikir mudah-mudahan Novi belum datang. Ia merasa tidak enak pergi berduaan dengan Putra, walaupun Putra adalah saudaranya sendiri. Bagaimana kalau Novi tahu? Lima hari yang lalu Novi memandangnya dengan perasaan cemburu, ketika didapatinya Cahaya tengah ngobrol intim dengan Putra di teras atas.

Cahaya duduk tanpa mengabaikan Putra di sisinya. Terlalu marah untuk dapat menikmati keindahan senja, walaupun sungguh menyakitkan apa yang baru dikatakan Putra padanya.

Cahaya mencuri pandang ke arah Putra, yang sedang sibuk memperhatikan lubang-lubang di jalan yang mereka lalui. Ia segera memutuskan untuk mengembalikan suasana normal dengan percakapan-percakapan ringan dalam mobil.

*

Cahaya memasak sayuran yang diambil dari kebun belakang pagi tadi dan membuat ayam goreng untuk makan malam.

Setelah makan malam, Cahaya mencuci piring-piring kotor. Ia ingin cepat naik ke atas dan tidur setelah semuanya beres. Mengurung diri dalam kamar. Ia tak ingin menjumpai Putra mala mini.

Tapi dalam kamar Riri ia tidak bisa tenang sama sekali. Pikirannya sibuk memikirkan Putra. Laki-laki pemarah, kasar tapi kadang-kadang bisa menjadi penyabar dan lembut. Cahaya heran, amangborunya, namborunya dan Riri adiknya adalah orang-orang penyabar dan periang. Entahlah sifat siapa yang menurun pada Putra, yang kadang-kadang cepat naik darah. Sedangkan ompung mereka yang di Jambi pun tak seperti dia. Putra memang lain sendiri. Ompung mereka paling sayang pada Cahaya dan Riri, karena hanya Cahaya dan Riri cucu perempuan, selebihnya laki-laki semua. Baik anak bapak uda yang di Nias maupun yang ada di Palembang.

Lima tahun belakangan ini jarang sekali bertemu mereka semua. Terakhir kali mereka berkumpul di Jambi, ia kelas dua smp dan Riri satu smp, sedangkan Putra sudah kelas satu sma. Sekarang semuanya begitu cepat berubah. Riri sudah di tingkat satu fakultas ekonomi USU, Rio sudah di tingkat empat fakultas Arsitektur sedangkan ia sendiri tingkat dua fakultas hukum UII. Dan yang terpenting ialah Putra bertambah tampan sekarang.

Dahulu Cahaya sering malu, jika anak-anak ompung dan cucunya berkumpul semua, karena mereka sering mengolok-ngoloknya dengan mengatakan Cahaya adalah pariban Putra. Kalau sudah begitu ia akan merajuk dan bersembunyi di balik punggung papanya. Dan Putra si keras kepalaitu akan tenang-tenang saja, walaupun ia tahu Cahaya sudah malu setengah mati. Pariban sendiri dalam adat Batak berarti jodoh atau gampangnya adalah pacar.

“Ah… apakah aku mulai tertarik padanya?” tanyanya dalam hati. Gelombang hangat menjalari wajahnya. Tapi untuk apa memikirkan semua itu, tak ada gunanya. Dia toh sudah punya kekasih, Novi, yang sering memandang sinis padanya. Di depannya di depan Cahaya Novi hanya membicarakan masalah kuliah dan pelajaran-pelajarannya yang menurutnya dapat dibanggakan. Ia menceritakan koleksi bajunya dan warna-warna kesayangannya dengan cara yang memuakkan. Dan yang penting ia tidak menyukai kehadiran Cahaya di tempat ini.

*

Cahaya berdandan sekusam mungkin. Ia tidak ingin Novi curiga sedetik pun bahwa penampilannya dapat mengundang Putra. Seperti biasanya ia mengenakan jeans hitamdan t-shirt hitam bergaris-garis kecil. Rambutnya yang sebahu diurai lepas tanpa jepit.

Putra sudah menunggu di meja makan. Makan pagi sudah disiapkan Putra untuk mereka berdua. Cahaya sedikit menyesal akan keterlambatannya bangun pagi. Padahal Putra tentu tidur terlambat tadi malam. Wajahnya terlihat agak pucat.

“Kau kurang tidur?” Tanya Cahaya sambil duduk dan menerima sepiring nasi dari tanga Putra.

“Tidak!!” jawabnya sembarangan. “Paling tidak malam tadi aku tidak terganggu oleh tangisanmu.”

Cahaya mengabaikan sindiran itu dan mulai makan dengan tenang. Tapi Putra belum masih belum memakan nasi di piringnya. Ia menatap tajam ke arah Cahaya.

Kepala Cahaya terangkat dan balas menatap Putra.

“Kuharap warna serba hitam itu tidak menandakan sesuatu.”

“Kenapa? Aku suka warna hitam. Itu saja!” jawab Cahaya seadanya.

“Sayang…warna itu sedih.”

Ada getaran halus yang merambat di sepanjang tubuh Cahaya. Tapi Cahaya pura-pura acuh.

“Oh ya? Pokoknya tidak menggangguku dan tidak mengganggumu dank au tak perlu duduk disitu hanya untuk menatapku seharian penuh!” Sambil menunduk Cahaya meneruskan sarapannya. Dan Putra pun mulai menyantap sarapan paginya.

Pagi itu setelah semuanya beres Cahaya merencanakan akan berjalan-jalan di sekitar halaman belakang yang luas. Terpikat oleh keindahan pagi yang ceria, ia ingin menyeberangi halaman belakang menuju ke taman belakang milik Riri.

Sebelumnya ia menjumpai Putra dulu, yang duduk membaca majalah di teras bawah depan.

“Aku mau jalan-jalan,” Cahaya berkata datar, seperti orang yang memberi laporan kepada atasannya.

“Pergilah,” jawabnya acuh. “Hati-hati ular.”

“Ya.”

“Dan jangan lupa untuk menumpahkan semua air matamu di kolam sana,”sindir Putra sambil tertawa ringan.

Cahaya tidak menjawab. Ia berjalan terus tanpa menghiraukan sindiran Putra.

Di sebelah sana sedikit, agak jauh dari kebun mawar, ia membaringkan tubuhnya di antara pohon-pohonan yang teduh. Sambil memikirkan kembali perhatian yang diberikan Putra padanya.

“Ah… laki-laki itu kadang-kadang acuh, kadang jadi seorang pemarah dan keras kepala, tapi di lain waktu ia bisa menjadi seseorang yang penuh perhatian. Apakah perhatian yang ia berikan padaku hanya kebetulan saja, karena aku sepupunya, atau…? Ah…bukankah dia sudah punya Novi yang cukup cantik? Aku ini apalah…

Kemudian ia mencoba untuk tidak berpikir apa-apa sedikit pun. Tidak ada gunanya lagi. Cahaya berbaring sambil menikmati suara unggas pagi dan kicauan burung-burung kecil di sekitarnya. Dan akhirnya tertidur.

Ketika terbangun kembali, matahari sudah agak tinggi.. Entah berapa lama ia tertidur. Dunia sepi dan kosong. Seperti tak berpenghuni.

Cahaya bangkit, berdiri menyilangkan tangan di atas matanya, menghalangi sorot matahari yang menyilaukan matanya.

Sekembalinya dari taman mawar, Cahaya sengaja mengambil jalan putar melewati jalan samping. Tanpa sengaja ia mendengar suara oranf bercakap-cakap. Cahaya menghentikan langkahnya. Ia ingin mengetahui siapa orang ynag bercakap-cakap itu. Ternyata Novi dan Putra. Rupanya sejak ia pergi ke taman tadi Novi telah datang. Terdengar tawa manja dari Novi yang membuat Cahaya merinding. Mereka kelihatan sangat berdekatan. Tangan Putra melingkar mesra di bahu Novi. Dada Cahaya berdegup kencang dan semburat merah menjalari pipinya. “Ah…cenburukah aku..,” bisiknya dalam hati.

Cahaya lalu memutuskan untuk balik lewt pintu belakang. Ia tak ingin kehadirannya mengganggu kebahagiaan orang lain. Di samping ituia tak ingin Novi tambah memusuhinya. Biarlah mereka menikmati kebahagiaannya…

*

Siang itu, ketika Cahaya sedang membuat sup untuk makan siang tiba-tiba Putra masuk dan membanting pintu kencang sekali, hingga membuat Cahaya kaget setengah mati. Lalu tanpa menoleh sedikit pun pada Cahaya ia masuk ke dalam kamarnya.

Tampaknya Putra sedang kesal, sebab terlihat dari matanya yang merah dan wajahnya yang muram.

Cahaya diam saja, sebab ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. Memang beberapa hari ini Putra bertingkah laku agak aneh. Belakangan ini ia jarang bicara, ia lebih sering mengurung diri dalam kamar dan pergi diam-diam atau datang dengan tiba-tiba. Dan ia lebih sering pulang malam-malam tanpa setahu Cahaya, entah darimana?

Seleseai masak Cahaya menata meja makan untuk makan siang. Lalu ia mengetuk pintu kamar Putra untuk mengajaknya bersantap siang. Tapi sampai ia kesal sendiri, tak ada jawaban dari kamar itu. Akhirnya ia makan sendiri dengan perasaan kurang bergairah.

Sore menjelang malam, tampaknya udara amat bagus. Angin lembut dan manja menerpa wajah Cahaya dan mempermainkan anak rambutnya. Bintang-bintang di atas sana menambah indajnya malam itu.

Malam semakin larut. Cahay duduk di beranda atas dan pandangannya jatuh ke bawah, menikmati taman kecil dan kolam ikan yang nampaknya indah tertimpa sinar lampu taman.

Sepi sekali. Hanya nyanyian binatang malam yang terdengar. Sedang asyik Cahaya melamun, tahu-tahu Putra telah muncul di belakangnya dan kini berdiri menjajarinya. Sejenak Cahaya terperanjat. Lalu mencoba untuk bersikap biasa lagi.

“Kau melamun lagi…,”sapanya lembut, memecah keheningan malam.

Pipi Cahaya merah padam.

“Aku tidak melamun,” jawab Cahaya pelan, membela diri. Ia merasakan dadanya berdegup dan tangannya gemetar.

“Pembohong kecil!” sentak Putra tiba-tiba.

Cahaya hamper tak percaya dengan pendengarannya. Baru beberapa detik yang lalu ia berkata dengan lemah lembut, tapi beberapa detik kemudian ia telah menyentak Cahaya.

“Aku hanya mau memberi saran padamu,” lanjutnya kemudian.

“Tentang…tentang apa?” Tanya Cahaya setengah gugup.

“Kau piker tentang apa? Tentu saja tentang kisah cintamu!”

“Aku tidak punya kisah cinta,”jawab Cahaya perlahan.

Percakapan gila macam apa ini. Jam sebelas malam. Apa reaksi Novi kalau ia tahu Putra membicarakan masalah cinta dengannya. Cahaya menelan ludah sbelum berkata lambat dan hati-hati.

“Pokoknya kau tidak mau membicarakan masalah tiu.”

“Aku tidak menyruhmu ngomong. Aku yang akan bicara!”

Cahaya diam, menunduk dan sakit hati sekali.

“Dengar gadis kecil,” kata Putra lagi. “Aku tahu kau mencintai seseorang dan orang itu telah tiada. Dan sekarang kau menyiksa terus dirimu karena kematiannya. Tapi itu tak berarti kau harus menggunduli kepalamu dan menyembunyikan kepribadianmu dibalik kemeja hitam dan usang. Masih banyak pria lain, mengapa kau tak mencoba melupakan masa lalu, kemudian mencobanya lagi. Tapi bagaimana akan membawa hasil kalau penampilanmu hanya berselubung kemeja hitam?”

Pipi Cahaya terasa panas.

“Perduli apa dengan penampilanku?” ujar Cahaya dengan dagu terangkat. “Tidak ada orang lain selain kau!”

Alis Putra terangkat. Matanya tersenyum nakal.

“ Dan aku tidak termasuk hitungan?”

“Tentu saja tidak. Kau kan kekasih Novi!”

“Kalau bukan?”

Tangan Cahaya mulai gemetar. Arah penbicaraan mulai melantur. Lebih baik cepat diakhiri, lebih baik.

“Sama saja,” jawab Cahaya meyakinkan. “Aku tidak tertarik pada pria.” Cahaya berdiri dari kursi, isyarat percakapan telah berakhir.

“Betul?” Putra juga berdiri dan menghalangi langkah Cahaya. “Aku tak percaya Cahaya…. Kau gadis sehat dan normal, wajar kalau kau punya hasrat!Lebih baik kau camkan nasihatku. Perlihatkan bahwa dirimu wanita, maka kau akan diperlakukan seperti wanita, bukan gadis kecil yang kekanak-kanakan.

Cahaya merasa tertampar. Lalu ia menyelinap dan berlari meninggalkan Putra. Terdengar langkah kaki Putra mengikutinya. Cahaya berbalik dan berkata dengan berurai airmata, “Aku tak ingin memperlihatkan bahwa diriku wanita kepadamu. Jangan mengira aku butuh nasihatmu!!” Kemudian ia berlari menuju kamar Riri dan membanting pintu kuat-kuat.

Dalam kamar, Cahay Cuma bisa menangis, menumpahkan kekesalan hatinya. Tapi tak urung juga ia heran melihat sikap putra. Tadi siang ia datang dengan wajah murung dan marah-marah, tapi malam ini ia berlagak seperti orang tua yang memberi nasihat pada anak gadisnya. “Dan…aku? Mengapa ada kegembiraan tersendiri dalam hatiku jika aku berduaan dengannya, walaupun selalu diakhiri dengan pertengkaran! Sukakah aku padanya?” tanyanya dalam hati.

*

Idul Adha sudah semakin dekat. Hujan turun terus menerus sepanjang hari. Bau tanah dan udara dingin mewarnai cuaca di bulan Desember ini.

Tadi pagi Cahaya pergi ke pasar, membeli beberapa macam keperluan dan ia belanja lebih banyak dari biasanya. Sebab ia merencanakan akan membuat sedikit kue-kue. Untuk menghilangkan sedikit kesepian di hari itu.

Ia pergi sendiri mengendarai mobil amangborunya, ketika dilihatnya Putra masih tertidur lelap di atas kursi. Tapi sepulangnya dari pasar ia mendapatkan Putra tengah duduk di teras depan membaca Koran dan menikmati secangkir teh hangat. Putra berdiri dengan tangan terlipat di dada dan memperhatikan Cahaya yang sedang sibuk mengeluarkan belanjaan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Cahaya lama-lama menjadi salah tingkah diperhatikan sedemikian rupa.

“Maaf Putra, aku tidak seijinmu menggunakan mobil. Tadi pagi kulihat kau masih tidur dan kupikir aku akan mendapat sayur-sayur sisa jika terlambat datang ke pasar,” Cahaya mencoba membuka percakapan.

Putra diam tidak menjawab. Ia malah balas menatap wajah Cahaya. Dan ia tidak berusaha menghindar ketika Cahaya memergokinya.

Lalu Cahaya membawa belanjaannya ke dapur dan membereskan satu persatu. Cahaya merasa sukar membuka tali yang mengikat dus pembungkus makanan-makanan kaleng, dan ia mencari pisau untuk memutuskan tali-tali itu. Tapi entah bagaimana mulanya, tahu-tahu pisau itu telah melukai tangannya. Cahaya memekik tertahan. Darah mengucur deras di sela tangannya, merah tua.

Putra yang mendengar pekikan Cahaya, berlari mendapati Cahaya yang tengah menahan pedih. Lalu ia memegang tangan Cahaya sejenak, untuk kemudian berlari mengambil kotak obat.

Menyaksikan darah merah segar yang mengalir di tangannya, Cahaya merasa sekujur tubuhnya lemas tanpa daya.

Dengan cekatan Putra mengobati luka Cahaya dan melilitkan perban diantara jari jemari Cahaya. Mata Cahaya terpejam kesakitan menahan pedihnya luka itu.

Suasana bisu berlangsung diantara mereka, sampai Putra selesai mengobati tangan Cahaya.

“Sakit?” Tanya Putra hati-hati.

Cahaya mengangguk lemah. Tiba-tiba hatinya terasa pedih sekali, entah mengapa. Mungkin ia terbawa emosinya.

Putra menuntun Cahaya ke kamar atas. Tangannya melingkari bahu Cahaya sehingga memberikan rasa aman pada diri Cahaya. Ia melakukan semuanya dengan hati-hati, seolah-olah takut menimbulkan luka baru pada diri Cahaya.

Tapi sampai di depan pintu kamar langkah Cahaya terhenti.

“Tidah usah…Putra. Sampai sini saja. Aku tak apa-apa. Cuma sakit sedikit,” kata Cahaya sambil bersandar pada daun pintu.

Putra diam tak beranjak dari situ. Dipandanginya Cahaya tajam-tajam. “Cahaya…kau cantik sekali!” bisiknya perlahan dan tiba-tiba.

Untuk sesaat Cahaya merasa gemetar dan wajahnya terasa panas.

“Aku senang melihatmu dengan rok seperti ini.”

Kepala Cahaya tertunduk. Malu dan tersipu. Dan tangan Putra yang kokoh itu mengangkat dagu Cahaya perlahan sekali.

Sementara di luar gerimis kecil telah turun lagi dank abut tipis menutupi poho-pohon pinus di sekitarnya. Udara dingin menerobos lewat lubang-lubang jendela.

“Jangan Putra,” bisik Cahaya lemah, ketika Putra ingin mencium pipinya.

“Kenapa?”

“Jangan kau khianati Novi…”

Demi mendengar nama Novi disebut, mendadak tubuh Putra mengejang dan ia mengatupkan mulutnya dengan geram.

“Jangan kau sebut dia lagi, Cahaya!”suaranya hampir seperti nada memerintah.

Cahaya kaget dengan perkataan Putra.

“Kenapa?” kini dia yang balik bertanya.

“Kami putus!”

“Apa?” Kalian telah putus?” Tanya Cahaya hati-hati.

“Ya!”

Ada sedikit kegembiraan terbersit dalam hati Cahaya mendengar hal itu. Tapi ia cepat-cepat menepiskan perasaannya itu dan memaki dirinya, betapa egoisnya. Harusnya aku tak boleh begitu, bisiknya dalam hati. Untunglah ia dapat menyembunyikan perasaannya.

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi Rio pergi meninggalkan Cahaya yang masih terpaku dalam kebisuan dan kebingungannya.

*

Sudah dua malam ini Putra tidak pulang ke rumah. Sebenarnya Cahaya merasa takut dan kesal dengan keadaan seperti ini. Tinggal dalam sebuah rumah besar di pinggir hutan kecil, seorang diri dalam kesepian dan Putra tak pernah memberi tahu kemana ia pergi.

Kemarin ketika ia pergi belanja, di pasar dan toko-toko ia menyaksikan betapa meriahnya orang-orang menyambut datangnya hari Idul Adha. Lagu-lagu rohani diputar disana –sini. Baju-baju muslim dan perlengkapan ibadah yang tampak begitu indah dan menarik dipajang dibeberapa etalase toko yang membuat orang tergiur untuk membelinya.

Entah mengapa tanpa alasan yang jelas Cahaya ingin membeli sesuatu. Ia membeli sebuah sarung dan baju koko untuk papanya. Juga Cahaya membeli sebuah kemeja biru dongker yang manis untuk hadiah Putra, tak mengerti ia ingin melakukan ini meski bukan Idul Fitri. Bahkan di Idul Fitri-pun ia jarang memberikan sesuatu kepada Putra.

Idul Adha tinggal sehari lagi dan semua orang di seluruh penjuru negeri akan sibuk merayakannnya dan tentu saja mempersiapkan hewan-hewan kurban yang akan disembelih di masjid keesokan harinya.

“Ah… setahun yang lalu aku masih merayakan Idul Fitri dan Idul Adha seperti esok bersama Awan dan papa. Tapi kini seorang kawanpun aku tak punya…,” keluhnya tertahan. Papa pasti akan merayakannya bersama teman-teman dan para tetangga disana. Sedangkan aku…aku? Aku harus merayakan sendirian bahkan solat Ied-pun aku berangkat sendiri. Menyedihkan sekali.

Malam gerimis turun. Rintik-rintik dan dingin. Suara takbir berkumandang hingga terdengar sampai rumah itu. Cahaya sedang merapihkan dan membersihkan ruangan, hanya untuk mengisi kekosongan dan kesepian belakanya. Ingin ia pergi takbiran ke masjid. Tapi mengingat begitu jauh masjid dari rumah amangborunya, ia jadi mengurungkan niatnya. Kue-kue buatannya walaupun ia tak tahu siapa yang akan memakannya nanti, dipajang di dalam buffet berkaca dan ia mengisi vas bunga dengan bunga-bunga baru yang masih segar, yang dipetiknya dari taman sore tadi sebelum hujan turun.

Disini walaupun tanpa wangi sedap malam ia merasa bahagia dapat memetik mawar merah, putih dan kuning dan menghiasnya dengan cantik dalam vas yang mungil. Cahaya memperhatikan lagi hasil kerjanya, sementara malam semakin larut. Setelah semuanya selesai, Cahaya mengisi kesunyian malam dengan membaca-baca novel milik Putra. Sayup-sayup takbir masih terdengar jua, menambah ketentraman hatinya. Lantas setelah ia merasa jenuh ia menutup novel yang dibacanya dan duduk merenung.

Kakinya melangkah ke arah jendela. Disibakkan tirai jendela. Terlihatlah titik-titik air yang menempel pada kaca jendela. Di luar langit hitam kelam tanpa bintang.

Tiba-tiba ia rindu untuk memainkan lagu kesukaannya. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju organ. Dengan penuh sentimental ia dimainkannya lagu unintended yang dinyanyikan oleh Muse.

You could be my unintended…

Choice to live my life extended

You could be the one I always love…

Tak berapa lama setelah memainkan lagu itu, Cahaya merasa itu hanya membangkitkan kepedihan hatinya saja, maka ditinggalkannya organ itu. Dan ia naik ke atas, ke kamarnya.

Ia berbaring dan menatap langit-langit rumah dengan sebuah renungan dan tanda Tanya. “Kemanakah Putra? Mengapa sudah tiga hari ini ia tak pulang?”

Lalu Cahaya membayangkan tentang diri Putra. Tubuhnya yang tegap, dan tangannya yang kokoh sehingga aku merasa aman dan terlindung dalam rengkuhannya. Dan mata itu. Begitu tenang tapi sinis dan tajam. Serta bibirnya yang tipis dan berbentuk bagus, walaupun kadang-kadang dipakai untuk mencemooh. “Oh…Ya Allah mengapakah aku ini?”

Tiba-tiba Cahaya ingat kado untuk Putra. Oh dimanakah kado itu? “Oya tadi kuletakkan di meja dekat televisi di bawah sana.

Lalu tanpa sadar ia telah turun lagi untuk membuktikan bahwa kado itu benar-benar ada disitu. Ia meraih kado itu sejenak, dan meletakkan kembali ke tempat semula.

Mata Cahaya terpaku pada sebuah buku yang terletak bisu di atas organ. Buku milik Riri. Seketika itu juga timbul hasratnya untuk menuliis sebait puisi, mencurahkan isi hatinya. Ia menumpahkan segenap perasaannya lewat tulisan-tulisan di atas kertas itu.

.......

Gerimis hatiku

Yang turun di bukitmu

Mengapa tak bisa mengusir sepimu?

Hei

Tahukah kau

Aku ingin punya mata seperti punyamu

Bolehkah?

Lelaki yang datang malam-malam

Pergi diam-diam

Entah mengapa dia begitu berarti

Dia pergi bawa sekeping hatiku

Tanpa dia tahu

Di malam suci nanti

Aku ingin melihatmu tersenyum

Dibawah sayup-sayup takbir

Yang bergaung di sekitar rumahmu

Malam nanti

Obor-obor kecil akan menyapamu

Merah, kuning nan semarak

Ingin kugenggam buat pengisi sepiku

Bolehkah?

Ku ingin malaikat-malaikat

Sejenak turut bergembira bersamamu

Seperti anganmu selalu

Dan aku akan mendengarnya

Lewat lubang-lubang angin jendela kamarku

Bila kau berdoa di malam suci ini

Tolong bawakan namaku

Bahwa kau mengingatku malam ini

Walau kita jauh, katakan: aku mencintainya

Tiba-tiba aku ingat salju putih

Seputih itukah hatimu malam nanti?

Hari ini Idul Adha. Cahaya bangun pagi-pagi sekali jam 4. Setelah solat Subuh ia mandi dan mulai berdandan sedikit. Dan bersegera menuju lapangan dengan mobil amangborunya untuk solat Id. Ia berangkat seorang diri tanpa seorang temanpun, termasuk juga Putra.

Ia mengenakan baju lengan panjang dan rok panjangnya yang paling cantik. Memberi sedikit lipstick di atas bibirnya yang tipis dan mungil dan memerahi sedikit pipinya agar terlihat lebih segar. Merayakan hari suci ini seorang diri juga merupakan kenikmatan yang tersendiri pula.

Cahaya tidak menyadari betapa anggunnya ia pagi ini. Rambutnya dibiarkan terurai lepas tanpa ikatan dan jepit. Ia merasa beruntung karena hari ini tidak hujan.”Inilah karunia Allah, “Pikirnya, sehingga ia dapat berangkat dengan hari yang bahagia, penuh sukacita.

Tiba di lapangan, solat hampir dimulai. Cahaya melihat betapa bahagia orang-orang disekitarnya. Setelah selesai solat mereka bersalam-salaman satu sama lain. Tak terkecuali Cahaya, walaupun tak saling mengenal disalaminya juga.

Sepulang dari solat Id, tampak jeep CJ-7 yang biasanya dipakai Putra parker di tengah halaman. Dada Cahaya berdegup kencang. Dan sayup-sayup terdengar lembut dentingan organ, pertanda seseorang sedang memainkannya. “Putrakah yang memainkannya?” Tanya Cahaya dalam hati.

Cahaya membuka pintu dengan hati-hati sekali, takut mengganggu permainan yang bagus itu. Tapi tak urung permainan itu terhenti, ketika Putra menyadari Cahaya ada disitu. Suasana menjadi hening dan mencekam.

Cahaya berdiri mematung di dekat pintu dan Putra terpaku memandang Cahaya seolah tak percaya. Putra menatap tajam kea rah Cahaya dari ujung kaki ke ujung rambut.

Cahaya menjadi malu ditatap seperti itu, ia diam menunduk tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya suasana kaku itu pecah juga dengan terdengarnya suara Putra.

“Cahaya untuk siapakah inii?” Tanya Putra sambil meraih sehelai kertas disisi organ.

Cahaya terpekik demi melihat kertas itu. Kaget dan malu. “Kertas pusi itu? Ya Allah? Betapa memalukan… mengapa aku tak ingat untuk menyimpannya atau membuangnya semalam..,”makinya kesal pada diri sendiri. Tapi bukankah tadi malam tak ada Putra? Dan ia tak menyangka Putra pulang hari ini.

Lalu dengan berlari ia merebut kertas puisi itu dari tangan Putra. Tapi apa daya Putra lebih tinggi darinya, sia-sia ia menggapai. Lalu dengan perasaan malu dan sedih ia berlari keatas, masuk ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di atas pembarinan serta menumpahkan air matanya di atas bantal.

Tak lama kemudian terdengar Putra mengetuk-ngetuk pintu kamarnya tapi Cahaya sudah tak peduli lagi.

“Maafkan aku Cahaya..,”suara Putra terdengar menyesal. Ia berdiri di sisi pembaringan,

Cahay terus menangis. Tubuhnya terguncang lunak menahan isak tangisnya. Lalu Putra duduk di tepi pembaringan dan meraih tubuh Cahaya, perlahan sekali. Mata Cahay tampak merah dan sembab. Cahaya menghapus sisa-sisa air mata disitu. Dengan penuh kasih dipeluknya Cahaya di dadanya dan Putra menyibakkan anak rambut yang menutupi wajah Cahaya.

“Kau mau memaafkan aku?” Tanya Putra berbisik.

Cahaya mengangguk.

Lalu dibimbingnya Cahaya turun kebawah dan direngkuhnya bahu Cahaya.

“Cahaya tahukah kau? Betapa aku merindukan dirimu siang dan malam. Alangkah sulitnya berjuang melawan cinta. Aku mencoba melupakan dirimu, dari hari kehari. Tiga hari aku pergi karena tak kuasa menghadapi engkau tanpa cinta. Setiap kali aku memandangmu setiap kali pula aku tak kuasa menolak rasa cinta yang ada dalam hatiku. Cinta itu tumbuh tiba-tiba sejak kedatanganmu. Itu kuakui. Memang kau terlau suci untuk kucintai…dan…”

Cahaya menutup mulut Putra dengan tangannya.

“Jangan teruskan..,”bisiknya pelan.

“Kenapa?”

“Karena aku tak ingin mendengarnya.”

“Baiklah kalau begitu. Tapi maukah kau meluluskan permintaanku,” pinta Putra dengan suara manja dan memohon.

“Apa itu?”

“Katakanlah, aku mencintaimu. Aku ingin mendengarnya dari mulutmu.”

Wajah Cahaya terasa panas dan memerah mendengar permintaan Putra. Lalu Cahaya mengangkat wajahnya dan membisikkan kata-kata itu di telinga Putra.

Alangkah indah Idul Adha tahun ini. Dua anak manusia telah berdamai kembali. Lalu Cahaya ingat olok-olok keluarga besar mereka bahwa Putra adalah paribannya, dan ia pun tersenyum. Ternyata mereka menang. Aku kalah… ya aku kalah!Bisiknya dalam hati.

1 komentar:

  1. Terima kasih telah menulis mengenai desain industri, saya terbantu sekali dalam menyusun makalah tugas dari dosen.

    BalasHapus