Senin, 30 Maret 2009

"Legal Test Kebaruan (Novelty) Dalam Desain Industri"

Legal Test Kebaruan (Novelty) Dalam Desain Industri

Oleh: Liona Isna Dewanti

Abstract

Novelty test becomes legal principle that needs attention in protection of industrial design. Only the newest design gets the rights. In fact, although industrial design has been registered on Directorate General of Intellectual Property Rights, it often happens that a claim relates to the legal test of novelty on industrial design. There are no clear parameters of novelty on Industrial Design in the Act Number 30 Year 2000. The following article examines the legal test of novelty on industrial design. Therefore, the question, what is the legal test of novelty on industrial design? Unclear parameter about novelty arising difficulties in deciding the new industrial design.

Pendahuluan

Sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual, desain industri memiliki karakter yang eksklusif. Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 2000 hak atas desain industri diberikan negara kepada pendesain dalam jangka waktu tertentu.[1] Pendesain mempunyai hak untuk menggunakan desain industri tersebut untuk dirinya sendiri atau kepada pihak lain berdasarkan persetujuannya untuk periode waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini pendaftaran adalah syarat mutlak untuk terjadinya hak desain industri.[2] Tanpa pendaftaran, tidak akan ada hak atas desain industri, juga tidak ada perlindungan.

Perlindungan tidak diberikan kepada semua desain industri. Oleh karena itu, asas kebaruan menjadi prinsip hukum yang juga perlu mendapat perhatian dalam perlindungan hak atas desain industri ini. Hanya desain yang benar-benar baru, yang dapat diberikan hak. Nilai kebaruan dapat diukur melalui beberapa unsur seperti kombinasi dari desain yang sudah ada, ataupun desain yang memang berbeda dari yang sebelumnya.[3] Dalam hal ini, Undang-undang kita tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang menjadi ukuran kebaruan itu sendiri.

Definisi dan Ruang Lingkup Desain Industri

Perlindungan atas desain industri didasarkan pada konsep pemikiran bahwa lahirnya desain industri didasarkan pada konsep pemikiran bahwa lahirnya desain industri tidak terlepas dari kemampuan kreativitas cipta, rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia. Jadi ia merupakan produk intelektual manusia, produk peradaban manusia.[4]

Menurut David I. Brainbridge, desain adalah aspek dari gambaran suatu benda. Dalam Hak Atas Kekayaan Intelekrtual, desain bukanlah benda itu sendiri. Desain memiliki arti yang lebih sempit. Arti kata desain mengacu pada gambaran suatu bentuk atau gambar yang menunjukkan susunan suatu benda. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah desain dengan pola dekoratif, tetapi dalam istilah hukumnya David I. Brainbridge menyatakan[5]:

“Design is definite based on the reference to the rules that is applied on the registered design or the right of design.”

Jeremy Philips and Alison Firth berpendapat bahwa desain mencakup segala aspek tentang bentuk atau konfigurasi baik internal maupun eksternal baik yang merupakan bagian maupun keseluruhan dari sebuah benda. Dekorasi permukaan dikesampingkan dan suatu desain harus spesifik.[6] Lebih jauh mereka memberikan pendapat:[7]

A design is not, therefore, a product or a means by which a product is made, it is the aesthetic feature which appeals to the eye and thus gives an attractive or distinctive quality to the goods to which it is applied. The meaning of ‘shape’, ‘configuration’, ‘pattern’ and ‘ornament’ are not defined by statute and could, it is submitted, have been left out of the definition of design without any loss meaning-unless there is a feature which, in the finished article, appeals to and is judged solely by the eye, and which is not a shape, configuration, pattern or ornament.”

Dengan demikian desain merupakan gambaran keindahan yang memberikan daya tarik atau kualitas khusus untuk barang-barang yang diterapkan.

Black’s Law Dictionary[8] mendefinisikan desain industri sebagai berikut:

“Desain industri adalah bentuk, konfigurasi, pola atau ornament yang digunakan dalam proses industri, dan sering digunakan sebagai penciri penampilan suatu produk.”

Dalam hukum positif Indonesia, desain industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000. Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000 merumuskan desain industri sebagai berikut:

“Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna , atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.,”

World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan definisi yang terperinci mengenai desain industri sebagai berikut:[9]

“Any composition of lines or colors or any three dimensional form, whether or not associated with lines or colors, is deemed to be an industrial design, provided that such composition or forms gives a special appearance to a product of industry or handycraft and can serve as a pattern for a product of industry or handicraft.”

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa desain industri meliputi pula pola untuk barang kerajinan, selain untuk barang industri.

Desain industri adalah “pola” yang digunakan dalam proses pembuatan barang baik secara komersial dan berulang-ulang. Karakter penggunaan berulang adalah suatu pembeda dari kreasi dalam hak cipta. Karakter yang lain sebuah desain industri adalah adanya hubungan dengan estetika, keamanan, dan kenyamanan dalam penggunaan suatu produk, sehingga mendukung dalam pemasarannya.[10]

Perlindungan desain industri berbeda dengan hak cipta. Dalam desain industri perlindungan desain industri diberikan pada produk yang baru atau original. Sebuah desain dinyatakan baru atau original apabila memiliki perbedaan dari desain yang sebelumnya atau modifikasi dari desain itu. Singkatnya, desain lebih menekankan pada segi estetisnya.

Sedangkan dalam paten, perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2001. Ada 3 (tiga persyaratan) agar suatu penemuan dapat dipatenkan[11]:

1. Kebaruan (novelty)

2. Dalam penemuan ini ada langkah insentif

3. Diterapkan dalam industri

Tidak semua desain industri yang dihasilkan oleh pendesain dapat dilindungi dengan hak. Hanya desain industri yang benar-benar baru yang mendapatkan hak eksklusif dari Negara.

Asas Perlindungan Desain Industri

Disamping berlakuya asas-asas (prinsip hukum) hukum benda terhadap hak atas desain industri, asas hukum yang mendasari hak ini adalah[12]:

  1. Asas publisitas
  2. Asas kemanunggalan (kesatuan)
  3. Asas kebaruan (Novelty)

Asas publisitas bermakna bahwa adanya hak tersebut didasarkan pada pengumuman atau publikasi di mana masyarakat umum dapat mengetahui keberadaan tersebut. Untuk itu hak atas desain industri itu diberikan oleh Negara setelah hak tersebut terdaftar dalam berita resmi Negara. Di sini perbedaan yang mendasar dengan hak cipta, yang menyangkut system pendaftaran deklaratif, sedangkan hak atas desain menganut sistem pendaftaran konstitutif, jadi ada persamaanya dengan paten.

Untuk pemenuhan asas publisitas inilah diperlukan ada pemeriksaan oleh badan yang menyelenggarakan pendaftaran.

Pemeriksaan terhadap permohonan hak atas desain industri mencakup dua hal sebagai berikut:

  1. pemeriksaan administratif
  2. pemeriksaan substantif

Tentang langkah-langkah pemeriksaan administratif, prosedur yang dilalui adalah sebagai berikut:

  1. Di Indonesia badan yang melakukan pemeriksaan terhadap permohonan hak atas desain industri adalah Direktorat Jenderal HAKI yang berada di bawah Department Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  2. Apabila hak atas desain industri itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, dan kesusilaan atau apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan persyaratan atau juga permohonan dianggap telah ditarik kembali maka Direktorat Jenderal akan menerbitkan keputusan penolakan atas permohonan hak tersebut.
  3. Pemohon atau kuasanya diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau keputusan penolakan atau anggapan penarikan kembali permohonan tersebut dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat penolakan atau pemberitahuan penarikan kembali permohonan tersebut.
  4. Dalam hal pemohon tidak mengajukan keberatan, keputusan penolakan atau penarikan kembali oleh Direktorat Jenderal menjadi keputusan yang bersifat tetap.
  5. Terhadap keputusan penolakan atau penarikan kembali oleh Direktorat Jenderal, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan gugatan melalu Pengadilan Niaga dengan tata cara sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000.

Permohonan yang telah memenuhi persyaratan akan diumumkan oleh Direktorat Jenderal dengan cara menempatkannya pada sarana yang khusus untuk itu yang dapat dengan mudah serta jelas dilihat oleh masyarakat, paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal penerimaan.[13]

Pengumuman tersebut memuat:

  1. nama dan alamat lengkap pemohon
  2. nama dan alamat lengkap kuasa dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa
  3. tanggal dan nomor penerimaan permohonan
  4. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali apabila permohonan diajukan dengan menggunakan hak prioritas
  5. judul desain industri
  6. gambar atau foto desain industri

Asas kemanunggalan bermakna bahwa hak atas desain industri tidak boleh dipisah-pisahkan dalam satu kesatuan yang utuh untuk satu komponen desain. Misalnya kalau desain itu berupa sepatu, maka harus sepatu yang utuh, tidak boleh hanya desain telapaknya saja, berbeda jika dimaksudkan desain itu hanya berupa telapak saja, maka hak yang dilindungi hanya telapaknya saja. Demikian pula bila desain itu berupa botol berikut tutupnya, maka yang dilindungi dapat berupa botol dan tutupnya berupa satu kesatuan. Konsekuensinya jika ada pendesain baru mengubah bentuk tutupnya, maka pendesain pertama tidak dapat mengklaim. Oleh karena itu, jika botol dan tutupnya dapat dipisahkan, maka tutup botol satu kesatuan dan botolnya satu kesatuan jadi ada dua desain industri.

Oleh karena itu, asas kebaruan menjadi prinsip hukum yang juga perlu mendapat perhatian dalam perlindungan hak atas desain industri ini. Hanya desain yang benar-benar baru yang mendapatkan hak. Ukuran atau kriteria kebaruan itu adalah apabila desain industri yang akan didaftarkan itu tidak memiliki kesamaan dengan industri yang telah ada sebelumnya. Dan kebaruan itu sendiri dapat diputuskan berdasarkan batasan wilayah, waktu penemuan dan pemberitahuan kepada masyarakat. Kebaruan disini berarti tidak pernah diketahui oleh orang lain sebelumnya.[14] Suatu nilai kebaruan dapat hilang apabila telah dipublikasikan, dengan berbagai macam cara dan dinegara manapun.

Legal Test Kebaruan Dalam Desain Industri

Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

Berbeda dari paten, perlindungan hukum terhadap desain industri adalah atas faktor non-fungsional. Namun desain industri dapat memfasilitasi fungsi. Misalnya desain industri khusus kendaraan bermotor yang memperhatikan faktor aerodynamics.[15]

TRIPS juga mengatur persyaratan perlindungan desain industri. Negara-negara anggota mengatur tentang perlindungan terhadap “independently created industrial designs” atas kriteria baru atau orisinal. Jadi, terserah pada anggota masing-masing untuk memilih satu dari dua kriteria itu. Hanya diingatkan bahwa perlindungan itu tidak boleh mencakup “designs dictated essentially by technical or functional considerations”. Artinya secara esensial pertimbangan perlindungan terhadap desain tidak atas dasar teknis atau fungsional.[16]

Mengenai kriteria novelty, Pasal 25 TRIPs menyatakan bahwa negara anggota memiliki kebebasan untuk memilih antara kriteria kebaruan atau orisisnal. UU Desain Industri di Indonesia menganggap kriteria kebaruan lebih akurat. Dasar pertimbangan pemilihan kriteria kebaruan tersebut adalah karena penerapan kriteria orisinalitas memerlukan pemeriksaa yang lebih rumit, sedangkan pada saat dibentuknya UU Desain Industri ini, sumber daya untuk pemeriksaan persyaratan orisinalitas masih sangat terbatas.[17]

Pada dasarnya, hak atas desain industri diberikan kepada desain yang benar-benar baru. Itu artinya desain tersebut harus berbeda dari pengungkapan yang sebelumnya. Menurut pendapat Budi santoso penentuan “kebaruan” menimbulkan persoalan yang cukup serius. Hal tersebut disebabkan karena menurut Undang-Undang Desain di Indonesia, baru artinya sebelumnya tidak pernah ada desain yang selama ini diciptakan oleh anggota masyarakat dimintakan perilndungannya melalui hak cipta pada kantor HCPM (Ditjend HAKI) dan hal itu telah berlangsung lama sehingga telah banyak desain yang telah terdaftar dan mendapat perlindungan hak cipta.[18] Ranti Fuza Mayana berpendapat untuk menentukan unsur baru atau tidaknya suatu desain merupakan suatu hal yang sulit. Bahkan, persepsi baru bagi masyarakat industri belum tentu sama dengan persepsi baru menurut pendesain. Sebagai contoh dalam banyak kasus, masyarakat industri mengartikan “baru” apabila konfigurasi bentuk lahiriahnya tidak sama persis dengan apa yang ada. Masyarakat industri yang menganut strategi pasar reaktif akan menggunakan asas defensive-imitative second but better. Menurut paham ini selera pasar adalah fenomena social yang lahir karena perubahan spirit zaman. Contoh desain sepatu olahraga yang hampir mirip satu sama lain, muncul karena spirit “kecepatan” atau telepon selular yang enteng muncul karena kepraktisan.[19]

Muhammad Djumhana berpendapat bahwa perbaikan dari desain yang lama masih dapat diberikan hak desain baru karena didalamnya terdapat hal-hal yang baru sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknik baru. Misalnya perbaikan-perbaikan dari segi lingkungan, sosial, ekonomi, dan segi-segi lainnya. Perbaikan dimaksud dapat dilihat dari segi kemanfaatannya yang lebih meningkat, menghilangkan yang merugikan pemakaiannya, misalnya lebih aman, lebih hemat energi dan lain sebagainya. Hal demikian diperbolehkan karena adanya aktivitas, kita tahu secara dialektis desain terus berkembang berputar sebagai suatu siklus tersebut kemudian timbul hal-hal baru, yang seyogyanya dilindungi dengan hukum.[20]

Perbandingan suatu produk dalam desain industri meliputi dua parameter yang terpisah, yakni berdasar pengamatan orang awam dan berdasar parameter kebaruan itu sendiri. Keduanya harus dipenuhi untuk menemukan ada tidaknya suatu pelanggaran dalam desain industri.[21]

Dalam pengamatan orang awam, sebagai seorang pembeli terkadang dibingungkan oleh dua buah produk yang memiliki kemiripan satu sama lain.[22] Misalnya produk yang pertama sudah dipatenkan, sedangkan produk yang kedua belum. Karena harga produk yang kedua lebih murah, dan faktor kemiripan tersebut pembeli memilih produk yang kedua. Dengan kata lain, analisis terhadap pelanggaran hak paten memerlukan seorang pengamat ahli untuk menentukan apakah desain yang dipatenkan secara keseluruhan adalah pada hakekatnya sama di dalam penampilan desain produk tergugat. Dengan kata lain tidak terdapat suatu pelanggaran desain industri apabila keseluruhan desain suatu produk tidak sama. Namun dalam hal ini ditekankan bahwa analisa seorang awam dilakukan berdasar pengamatannya dirinya sendiri dan bukan berdasar pendapat para ahli.[23]

Parameter suatu kebaruan memerlukan suatu bukti yang menunjukkan bahwa nilai kebaruan dalam suatu produk sejenis dapat menjadi suatu nilai pembeda terhadap suatu desain produk yang telah dipatenkan sebelumnya dan memiliki pembeda bagi orang awam. Meskipun pengajuan desain industri terhadap nilai kebaruan suatu produk sesekali memunculkan hasil yang sama, itu adalah suatu kesalahan hukum untuk menguji berdasar kedua parameter tersebut, sebagai contoh adalah terdapat klaim atau tuntutan terhadap keseluruhan produk yang tidak didasarkan pada hal-hal yang baru.[24]

Berdasar parameter kebaruan, seorang pencari fakta harus menentukan apakah desain produk penggugat sesuai dengan point kebaruan yang dapat menjadi pembeda terhadap desain produk sebelumnya. Lebih jauh, publikasi desain yang sebelumnya dievaluasi untuk menentukan apakah pengembangan suatu desain dapat dengan mudah diakui. Selanjutnya, suatu penemuan dibandingkan dengan desain yang sudah ada sebelumnya untuk menentukan apakah penemuan yang baru tersebut mempunyai nilai keuntungan yang lebih daripada desain yang sudah ada sebelumnya. Dengan begitu, suatu pengujian selalu membandingkan desain produk lama dengan yang baru untuk mengevaluasi suatu keuntungan yang relatif.[25] Jadi nilai kebaruan berhubungan dengan adanya perbedaan desain produk yang sebelumnya, dan pada umumnya didasarkan kepada sejarah penuntutan desain tersebut.[26]

Untuk mengatakan adanya suatu pelanggaran terhadap desain paten, seorang penggugat harus dapat memberikan suatu bukti adanya persamaan penampilan produk lain dengan desain produk yang dimilikinya. Dengan kata lain, tuntutan terhadap nilai kebaruan suatu desain produk tidak dapat digunakan oleh penggugat apabila tidak terdapat suatu pelanggaran.

Selain kriteria kebaruan, desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan, desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.[27] Pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan desain industri yang sebelum:

1. tanggal penerimaan; atau

2. tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;

3. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.

Sama halnya dengan paten, suatu desain paten hanya melindungi desain yang benar-benar baru.[28] Undang-Undang Desain Industri memutuskan Hak Atas Desain Industri akan diberikan kepada desain industri yang memiliki nilai kebaruan . Dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan sebelumnya dapat diartikan yaitu pengungkapan desain industri yang sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas jika permohonan diajukan dengan hak prioritas, telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar negeri.

Standar nilai kebaruan di Indonesia sama dengan standar kebaruan di Jepang. Suatu penemuan dapat dikatakan memiliki nilai kebaruan jika dapat dibuktikan bahwa penemuan tersebut adalah baru. Dengan kata lain tidak serupa dengan desain yang sudah ada sebelumnya prior art. Karena dalam Undang-Undang Paten, Jepang berdasar pada sistem first to file,[29] desain yang dimaksud sebelumya atau prior art adalah suatu desain yang lebih dulu terdaftar daripada tanggal penemuannya itu sendiri. .[30] Dalam hukum paten Jepang terdapat tiga macam prior art yakni: penemuan yang telah diketahui oleh khalayak ramai, penemuan yang telah digunakan oleh public dan penemuan yang telah dipublikasikan. Sedangkan Hukum Paten di Amerika berdasarkan pada sistem first to invent.[31] Baik di Jepang ataupun di Amerika, penemuan yang telah dipublikasikan di beberapa Negara diakui sebagai prior art. Dalam hukum paten Jepang, suatu penemuan yag telah diketahui dan digunakan bukan merupakan suatu prior art kecuali jika memang telah digunakan atau dikenal di Jepang. Penemuan yang ditolak permohonannya untuk dipatenkan karena tidak memiliki unsur kebaruan di Amerika karena dalam keadaan dijual tidak kehilangan unsur kebaruan dalam hukum paten Jepang kecuali penemuan itu bersifat rahasia bagi pemegangnya.

Dalam Hukum Paten Jepang suatu penemuan lama yang baru saja digunakan dipertimbangkan sebagai suatu penemuan yang sama dan memiliki korelasi dengan unsur kebaruan itu sendiri. Sedangkan dalan hukum paten Amerika, meski suatu penemuan baru saja digunakan, harus juga diteliti kembali dengan standar non-obviousness.

Tidak seperti parameter kebaruan yang hanya dilihat berdasarkan pengamatan orang biasa, legal test non-obviousness dinilai dari pengamatan seorang desainer.[32] Suatu desain yang akan dipatenkan mengandung unsur non-obviousness jika dinilai berdasarkan pengamatan seorang desainer, dan desain yang akan dipatenkan tidak berasal dari desain yang telah ada sebelumnya[33] Untuk mengukur perbedaan antara prior art atau desain yang memang sudah ada sebelumnya dengan desain yang baru haruslah dilihat secara keseluruhan.[34] Untuk non-obviousness, terdapat tambahan pertimbangan apakah suatu penemuan memiliki penampilan yang mngimplikasikan persamaan dengan produk lain.[35] Persyaratan non-obviousness mengharuskan adanya sesuatu yang membingungkan atau kerancuan antara desain produk yang lama dengan yang baru.[36]

Meskipun parameter kebaruan menjadi suatu keharusan dalam desain industri, kemiripan atau similaritas merupakan sesuatu yang mungkin terjadi. Terlebih dalam suasana di mana sarana produksi canggih serta perdagangan yang bebas sangat mendukung terjadinya kemiripan suatu produk. Menurut jenisnya bentuk-bentuk kemiripan tersebut oleh Ir. Arif Syamsudin, M. Si., dikategorikan terdiri dari[37]:

4. Barang identik, kreasi mirip;

5. Barang identik, kreasi berbeda;

6. Barang mirip, kreasi mirip;

7. Barang mirip, kreasi identik;

8. Barang berbeda, kreasi mirip.

Adanya kemiripan ini ternyata juga belum jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang desain industri. Jadi tidak ada ukuran yang jelas mengenai seberapa banyak persentase kesamaan antara kedua jenis produk sehingga dapat dikatakan melanggar hak desain industri orang lain. Terdapat beberapa konsep similarity yang berbeda atau secara substantial sama atau point yang menunjukkan ketentuan lain seperti pada merek atau hak cipta.[38]

Kasus desain yang berkaitan dengan kriteria kebaruan dapat dilihat dalam kasus[39] PT. Nobel Carpets sebagai pihak penggugat, yang mengajukan gugatan desain industri atas karpet dengan motif Pilar dan karpet dengan motif Masjid yang didaftarkan PT. Universal Carpets and Rugs sebagai pihak tergugat.

Dasar gugatan PT. Nobel Carpets atau penggugat adalah desain industri atas karpet dengan motif Pilar dan Masjid yang keduanya didaftarkan atas nama PT. Universal Carpets and Rugs adalah tidak baru pada saat diterimanya permohonan pendaftarannya, masing-masing pada tanggal 4 Juli 2003 dan 8 Juli 2003, karena sama dengan desain industri karpet dengan motif Pilar dan motif Masjid yang telah digunakan di Indonesia oleh Penggugat atau PT. Nobel Carpets sejak tahun 1995.

Tuntutan Penggugat atau PT. Nobel Carpets adalah agar Tergugat PT. Universal Carpets and Rugs dinyatakan beritikad tidak baik pada waktu pengajuan permohonan pendaftaran desain industri yang terdaftar dengan No. ID 0 005 420 dengan karpet motif Pilar dan desain industri dengan No. ID 0 005 425. Dan tuntutan agar desain industri No. ID 0 005 420 dengan judul karpet dengan motf Pilar dan desain industri No. ID 0 005 425 dengan judul karpet dengan motif masjid.

Pada Putusan Pengadilan Niaga, Majelis Hakim berpendapat bahwa motif pilar dan motif masjid yang diproduksi PT. Universal Carpets and Rugs atau Tergugat tidak sama dengan karpet Pilar dan Masjid yang diproduksi oleh Penggugat dengan pertimbangan bahwa setelah membandingkan karpet-karpet produk Penggugat dengan karpet produk Tergugat sepintas memang memiliki kemiripan, namun apabila diteliti lebih seksama dari segi bentuk, konfigurasi, komposisi garis dan ornamentasi khas ternyata berbeda, sehingga karpet-karpet produk Tergugat dapat dikatakan memiliki nilai kebaruan atau novelty.

Dalam putusan tersebut Majelis Hakim menimbang bahwa Pasal 10 Undang-Undang Desain Industri menyatakan bahwa hak atas desain industri diberikan atas dasar permohonan. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka perlindungan desain industri hanya diberikan kepada pihak yang telah mengajukan permohonan pendaftaran desain industri. Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Desain Industri bahwa pihak yang untuk pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai pemegang hak desain industri, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa secara yuridis PT. Universal Carpets and Rugs atau Tergugatlah sebagai pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran atas desain industri karpet dengan motif masjid pada Turut Tergugat atau Direktorat Jenderal HaKI. Sehingga secara mutatis mutandis sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Desain Industri.

Dilain pihak, hakim juga memiliki opini bahwa penggugat dalam kesempatannya tidak pernah mengajukan pendaftaran desain industri atas karpet yang diproduksinya, sehingga dapat dinyyatakan bahwa Penggugat tidak berhak menerima perlindungan desain industri untuk karpet yang diproduksinya tersebut. Dalam kasasinya Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut telah tepat dan benar.

Nilai kebaruan tidak hanya diklaim atas penampilan keseluruhannya, tetapi juga berdasarkan pada kombinasi elemen-elemen yang pada awalnya telah diketahui. Sesuai dengan Undang-Undang Desain Industri di Indonesia bahwa suatu desain akan mendapatkan perlindungan hukum jika desain tersebut benar-benar baru, dengan kata lain memiliki unsur novelty atau kebaruan.

Kesimpulan

Kriteria kebaruan dalam Undang-Undang Desain Industri di Indonesia tidak jelas. Dalam praktek yang digunakan oleh para hakim, unsur kebaruan dapat dinilai dari kombinasi desain yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini termasuk tambahan bentuk, kompisis garir, warna dan konfigurasi. Dengan kata lain kriteria baru atau novelty tidak hanya ditentukan berdasarkan tanggal penerimaan pendaftaran pertama akan tetapi juga ditentukan tidak adanya pihak lain yang membuktikan ataupun membantah pendaftaran desain industri tersebut. Oleh karena itu dalam desain industri selain dilakukan pemeriksaan administrative dan pemeriksaan substantive. Tujuannya untuk mencegah terjadinya kerugian kepada penerima lisensi desain industri dari pemegang hak desain industri.

Meskipun saat ini banyak kasus tentang desain industri, dinegara kita parameter novelty atau legal tes terhadap unsur kebaruan itu sendiri tidak jelas, hal ini menyebabkan munculnya kesulitan bagi para hakim dalam memutuskan perkara kebaruan dalam desain industri. Dengan begitu alangkah baiknya apabila pemerintah membuat parameter yang jelas mengenai unsure kebaruan dalam desain industri.

Daftar Pustaka

Buku

Brainbridge, David I., 1996, Intellectual Property, Third Edition, Pitman Publishing, London.

Chisum, Donald S. and Jacobs, Michael A., 1992, Understanding Intellectual Property Law, Matthew Bender & Co., Inc, New York.

Djumhana, Muhammad and R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Djumhana, Muhammad, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Purba, Achmad Zen Umar, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung

Santoso, Budi Santoso, 2005, Butir-Butir Berserakan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Desain Industri), CV. Mandar Maju, Bandung.

Gautama, Sudargo and Winata, Rizawanto Winata, 2004, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI); Peraturan Baru Desain Industri, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kumagai, Ken-ichi, 1999, Introduction to Intellectual Property Rights, Japan Patent Office Asia-Pacific Prperty Center, JII, Kyusyu University, Japan.

Mayana, Ranti Fauza, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia; Dalam Era Perdagangan Bebas. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Philips, Jeremy, 1999, Introduction to Intellectual Property Law, Third Edition, Butterworth, London.

Saidin, OK., 2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sherwood, Robert M., 1990, Intellectual Property and Economic Development, 7617 Leith Place Alexandria, Virginia.

Simanjuntak, Yoan Nursari, 2006, Hak Desain Industri; Sebuah Realitas Hukum dan Sosial, Srikandi, Surabaya.

Jurnal Hukum dan Artikel

Cook, Aaron, 2007, Points of Novelty, Lawman Armor, and the Destruction of Design Patent, 12 J. Tech. L. & Pol’y 103.

Kennel, John R., J.D.; Martin, Lucas, J.D.; Muskus, Thomas, J.D.; Surette, Eric, J.D, 2007, Novelty and Anticipation, Corpus Juris Secundum, 69 C.J.S. Patents § 30, J. Int'l L.

Schelling, Douglas W., 2007, Designs Patents Infringement: Is Your Competitor an Infringer?,. 14 J. Int'l L., Thomson /West, June.

Takenaka, Toshiko, 2002, Rethinking The United States First to Invent Principle from Comparative Law perspective: A Proposal to Restructure Novelty and Priority Provision, 39 Hous. L. Rev. 621, J. Int'l L.

Wang, Shyh-Jen, 2005, The Flow Chart of Design Patent Infringement, 87 J. Pat. & Trademark Off. Soc'y 76.

Undang-Undang

Act No. 31 Year 2000 on Industrial Design

Commercial Court Decision No: 48/DI/2004/PN. Niaga/JKT.PST.

TRIPS

Paris Convention 1967

Act number 30 Year 2000 about National Arbitrage Body

Website

http://en.wikipedia.org/wiki/industrial design

http://www. icsid.org

http://www.wipo.int

www. westlaw.com



[1] Undang-undang No. 31 Tahun 2000, pasal 5 ayat 1 menyatakan “ Perlindungan terhadap hak desain industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan”.

[2] Ranti Fauza Mayana. Perlindungan Desain Industri di Indonesia; Dalam Era Perdagangan Bebas. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 59.

[3] John R. Kennel, et.al., Novelty and Anticipation, Corpus Juris Secundum, 69 C.J.S. Patents § 30, J. Int'l L., 2007, hal. 37

[4] OK. Saidin. Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rigths), Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. 2004, hal. 467

[5] David I. Brainbridge, Intellectual Property, Third Edition, Pitman Publishing, London, 1996, hal. 356

[6] Jeremy Philips and Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Third Edition, Butterworth, London, 1999,hal. 317

[7] Ibid, hal. 342.

[8] Bryan A. Garner, et, al, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West Publishing Co, St. Paul, Minh, 2004, hal. 791

[9] http://www.wipo.int, diakses pada September 2, 2007, 14:09.

[10] Muhamad Djumhana dan R. Djubaedilah, op. cit, hal. 220

[11] UU Nomor 14 of 2001 tentang patent art 2 ayat 1

[12] OK. Saidin, op. cit, hal. 477

[13] UU No. 31 year 2000 tentang Desain Industri pasal 25 ayat 1

[14] Muhamad Djumhana dan R. Djubaedilah, op. cit, hal. 135

[15] Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, hal. 78

[16] Ibid.

[17] Yoan Nursari Simanjuntak, Hak Desain Industri; Sebuah Realitas Hukum dan Sosial, Srikandi, Surabaya, 2006, hal. 43

[18] Budi Santoso, Butir-Butir Berserakan trntang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Desain Industri), CV. Mandar Maju, Bandung, 2005, hal. 91

[19] Ranti Fauza Mayana, op.cit, hal. 48

[20] Muhamad Djumhana dan R. Djubaedilah, op. cit, hal. 220

[21] Shyh-Jen Wang, The Flow Chart of Design Patent Infringement, 87 J. Pat. & Trademark Off. Soc'y 76, 2005, hal. 765

[22] Ibid.

[23] Shyh-Jen Wang, op. cit , hal. 766

[24] Ibid.

[25] Toshiko Takenaka, Rethinking The United States First to Invent Principle from Comparative Law perspective: A Proposal to Restructure Novelty and Priority Provision, 39 Hous. L. Rev. 621, J. Int'l L., 2002, hal. 226

[26] Ibid.

[27] UU No. 31 year 2000 tentang Desain Industri pasal 2 ayat 2

[28] John R. Kennel, J.D.; Lucas Martin, J.D.; Thomas Muskus, J.D.; Eric Surette, J.D, op. cit,hal. 38

[29] Toshiko Takenaka, op. cit , hal. 224

[30] Ibid.

[31] Ibid.

[32] Aaron Cook, Points of Novelty, Lawman Armor, and the Destruction of Design Patents, 12 J. Tech. L. & Pol'y 103, 2007, hal. 110

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Ibid.

[36] Ibid.

[37] Arif Syamsudin, Pemeriksaan Substantive atas Permohonan Desain Industri “Desain Industri Sebagai Aset/Modal Intelektual untuk Mendukung Perekonomian Negara”, Bandung 11-12 September 2003, pg. 38: diambi dari Muhamad Djumhana dan R. Djubaedilah, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Desain Industri, Citra Adiya Bakti, Bandung, 2006, hal. 116.

[38] Muhamad Djumhana dan R. Djubaedilah, op. cit, hal. 116

[39] Putusan Perkara Nomor: 48/DI/2004/PN. Niaga/JKT.PST, yang diputus hari Rabu tanggal 15 Desember 2004, diputus dalam rapat Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang terdiri Mulyani sebagai Hakim Ketua Majelis, Agus Subroto, SH, M.Hum dan Sudrajat Dimyati, SH, dan dibantu oleh Matius B. Situru, SH sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat, tanpa dihadiri Kuasa Turut Tergugat.

1 komentar: